Jakarta, 18 September 2025 —
Presiden Prabowo Subianto kembali membuat langkah politik yang mengundang perdebatan publik. Kali ini, ia menunjuk Letjen TNI (Purn) Djamari Chaniago sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), menggantikan Budi Gunawan yang resmi diberhentikan pada Rabu (18/9).
Yang membuat penunjukan ini menarik — bahkan kontroversial — adalah latar belakang Letjen (Purn) Djamari, yang dikenal sebagai mantan Sekretaris Dewan Kehormatan Perwira (DKP) tahun 1998, yakni badan yang merekomendasikan pemecatan Prabowo dari militer pascareformasi atas dugaan pelanggaran HAM berat terkait penculikan aktivis.
Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Anak Buahnya
Penunjukan Djamari menciptakan ironi sejarah: seorang jenderal senior yang dulu turut “menyingkirkan” Prabowo, kini justru dipilihnya sebagai salah satu menteri terpenting dalam kabinet.
Djamari adalah senior Prabowo di AKABRI dan memiliki rekam jejak panjang dalam tubuh TNI. Ia dikenal berintegritas, namun keputusannya untuk masuk ke pemerintahan Prabowo kini membuka kembali memori publik akan konflik militer era 1998.
Kembali Dikuasai Militer: Kabinet Prabowo dan Jejak Orde Baru
Penunjukan Djamari melengkapi dominasi eks-perwira militer di kabinet Prabowo. Sebelumnya, beberapa nama militer kontroversial telah lebih dulu masuk:
- Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin – kini Menteri Pertahanan. Sahabat dekat Prabowo dan Pangdam Jaya saat reformasi 1998.
- Djaka Budi Utama – Dirjen Bea Cukai, mantan anggota Tim Mawar, unit Kopassus yang dikaitkan dengan kasus penculikan aktivis.
Langkah ini memicu kekhawatiran sebagian pihak, bahwa pemerintahan Prabowo sedang membangun lingkaran kekuasaan yang diisi oleh loyalis militer lama — yang pernah menjadi bagian dari sejarah kelam masa transisi demokrasi Indonesia.
Pengamat: Ini Konsolidasi Kekuasaan, Tapi Juga Risiko Politik
Sejumlah analis politik menilai penunjukan ini sebagai bentuk konsolidasi kekuasaan Presiden Prabowo untuk menciptakan barisan loyalis yang solid dan anti-kompromi terhadap tekanan politik eksternal. Namun, di sisi lain, banyak juga yang menyoroti potensi kemunduran demokrasi dan tidak adanya upaya rekonsiliasi terhadap luka masa lalu.
“Ini bukan soal balas dendam, tapi lebih kepada membangun kekuasaan yang terkendali. Sayangnya, publik belum mendapatkan penjelasan transparan,” ujar salah satu pengamat politik nasional.
Belum Ada Penjelasan Langsung dari Presiden
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Istana terkait alasan penunjukan Djamari Chaniago. Namun satu hal yang pasti: rekonsiliasi politik ala Prabowo ini sedang berjalan, dan mungkin akan terus bergulir dengan wajah-wajah lama dari masa lalu yang kini berperan di masa kini.Catatan Redaksi:
Langkah Prabowo bukan hanya manuver politik, tapi juga simbol bahwa masa lalu tidak pernah benar-benar pergi — ia hanya menunggu waktu untuk kembali.