Lombok Timur – Taka banyak yang tau Di sudut jalan kawasan Paok Motong, Kecamatan Sikur, Lombok Timur, kepulan asap sate menjadi saksi bisu perjuangan seorang pria asal Madura yang menolak menyerah pada nasib. Cak Mat, begitu warga memanggilnya, adalah sosok sederhana berusia 48 tahun yang kini dikenal luas karena kegigihannya membangun usaha dari nol hingga mampu mengubah hidupnya dan keluarganya.
Cerita Cak Mat bukan sekadar kisah pedagang kaki lima, tapi lembaran nyata tentang harapan yang dibakar di atas bara, setiap sore, tanpa lelah.
Merantau dengan Keyakinan, Bukan Kemewahan
Tahun 2010, Cak Mat memutuskan meninggalkan tanah kelahirannya di Madura menuju Lombok—tanpa sanak saudara, tanpa jaminan. Hanya bermodal tekad, keahlian memanggang sate, dan keyakinan bahwa kerja keras tak pernah mengkhianati hasil. Ia memulai usahanya dengan gerobak tua dan peralatan sederhana, bahkan kadang harus berutang daging kambing kepada pedagang karena keterbatasan modal.
“Dulu saya keliling. Kadang laku, kadang tidak. Tapi saya percaya, kalau kita jujur dan sungguh-sungguh, Allah pasti kasih jalan,” ungkap Cak Mat saat ditemui di lapaknya yang kini selalu ramai pengunjung.
Dari Gerobak ke Rumah Sendiri
Hujan, panas, dan tatapan sinis sudah jadi bagian dari perjalanan Cak Mat. Tapi satu hal yang tak pernah ia tinggalkan adalah cita rasa otentik sate Madura warisan keluarganya—daging kambing empuk tanpa bau, sambal kacang kental, dan lontong potong yang pas. Pelan-pelan, namanya mulai dikenal warga sekitar Paok Motong.
Setiap keuntungan kecil dari jualannya ia sisihkan. Bukan untuk kemewahan, tapi untuk impian: membeli tanah dan membangun rumah sendiri. Butuh waktu bertahun-tahun, tapi akhirnya, kerja keras itu membuahkan hasil. Kini Cak Mat dan keluarganya tinggal di rumah permanen yang dibangun dari hasil jualan sate, tanpa bantuan utang bank ataupun investor.
“Bukan rumah besar, tapi itu rumah dari keringat sendiri. Bagi saya, itu cukup untuk bahagia,” ucapnya, menahan haru.
Lapak Kecil, Antrean Panjang
Setiap sore mulai pukul 16.00 WITA, lapak sederhana Cak Mat di pinggir jalan Paok Motong sudah ramai antrean. Bau harum sate yang terbakar di atas bara arang menggoda siapa pun yang melintas. Pelanggan datang tak hanya dari desa sekitar, tapi juga dari Masbagik, Aikmel, bahkan Selong.
“Satenya itu khas. Dagingnya nggak prengus, sambalnya mantap. Setiap ke sini, saya selalu antre tapi nggak pernah kecewa,” kata Fitri, pelanggan tetap dari Masbagik.
Kini, Cak Mat tak lagi sendiri. Ia mempekerjakan dua karyawan muda dari lingkungan sekitar. Tak jarang, saat hari besar keagamaan seperti Idul Fitri atau Maulid, ia membagikan sate gratis kepada warga dan anak-anak di kampungnya. Baginya, berbagi adalah bagian dari syukur.
Lebih dari Sekadar Sate: Warisan Nilai dan Semangat
Kisah Cak Mat bukan hanya tentang sate, tapi tentang harga diri seorang perantau, tentang pantang menyerah, dan tentang harapan yang dibangun di atas bara kecil. Ia membuktikan bahwa kesuksesan tak harus ditunggu, tapi dikejar dengan kerja keras dan hati yang tulus.
“Saya ingin anak-anak saya bisa sekolah tinggi. Tidak harus jadi penjual sate seperti saya. Tapi mereka harus tahu bahwa apa yang mereka nikmati hari ini berasal dari tangan bapaknya yang tak pernah berhenti bekerja,” katanya dengan suara bergetar.
Ingin merasakan cita rasa sukses dari bara yang menyala setiap sore? Datanglah ke lapak Cak Mat. Karena di sana, Anda tidak hanya mencicipi sate—Anda juga mencicipi cerita hidup yang sesungguhnya.