Home / Ragam / Sosial / Pimpinan Ponpes di Lombok Tengah Divonis 15 Tahun Penjara, Publik Desak Pengawasan Ketat di Lembaga Pendidikan Keagamaan

Pimpinan Ponpes di Lombok Tengah Divonis 15 Tahun Penjara, Publik Desak Pengawasan Ketat di Lembaga Pendidikan Keagamaan

Lombok Tengah, 31 Juli 2025 – Masyarakat Lombok Tengah digemparkan oleh vonis berat yang dijatuhkan kepada seorang pimpinan pondok pesantren (ponpes) di Kecamatan Pringgarata. Terdakwa, yang merupakan tokoh agama sekaligus pengasuh utama ponpes tersebut, divonis 15 tahun penjara atas tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.

Sidang putusan yang digelar di Pengadilan Negeri Praya, Kamis (31/7), berlangsung dengan pengawalan ketat dan perhatian besar dari publik. Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar hukum sesuai dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.

Selain pidana penjara, terdakwa juga dikenai denda sebesar Rp1 miliar, dengan ancaman kurungan tiga bulan tambahan apabila tidak dibayarkan.

Kepercayaan Publik Terkoyak

Kasus ini menyisakan luka mendalam di tengah masyarakat. Sosok terdakwa yang selama ini dikenal sebagai panutan dan pemimpin spiritual justru terlibat dalam tindak kejahatan yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan.

“Ini bukan hanya soal hukum, tetapi soal kepercayaan. Ketika lembaga pendidikan dan keagamaan yang seharusnya menjadi tempat aman justru menjadi lokasi terjadinya kekerasan seksual, kita semua harus waspada,” ujar salah satu aktivis perlindungan anak di NTB.

Desakan Pengawasan dan Reformasi Sistem

Putusan ini memicu diskusi luas di kalangan masyarakat, pemerhati pendidikan, serta tokoh agama. Banyak pihak mendesak adanya pengawasan yang lebih ketat terhadap lembaga pendidikan berbasis keagamaan, khususnya yang mengasuh anak-anak di bawah umur dan berbentuk pesantren tradisional.

Pemerintah daerah dan kementerian terkait diharapkan tidak hanya menindak tegas pelaku, tetapi juga mereformasi sistem pengawasan internal di lembaga pendidikan, serta mendorong pelaporan yang aman dan cepat ketika terjadi dugaan kekerasan.

“Perlu ada mekanisme kontrol yang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga perlindungan nyata terhadap anak-anak santri. Banyak dari mereka jauh dari orang tua dan dalam posisi sangat rentan,” tambahnya.

Trauma dan Pemulihan Korban

Dalam kasus ini, korban masih berada dalam pendampingan psikologis dan hukum. Pemerintah setempat bekerja sama dengan lembaga perlindungan anak untuk memastikan proses pemulihan berjalan maksimal.

Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) NTB juga menyerukan agar pendekatan hukum disertai dengan pendekatan pemulihan trauma bagi korban, mengingat dampak psikologis dari kekerasan seksual bisa berlangsung jangka panjang.

Pengingat bagi Semua Lembaga

Kasus ini bukan hanya menjadi aib bagi satu institusi, melainkan juga peringatan keras bagi seluruh lembaga pendidikan, terutama berbasis asrama, untuk meningkatkan standar keamanan dan etika.

Masyarakat berharap kasus ini menjadi momentum untuk menata ulang sistem perlindungan anak secara menyeluruh, termasuk melibatkan peran aktif masyarakat, orang tua, dan tokoh agama dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan bebas dari kekerasan.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *